1. Prasasti Gondosuli
Prasasti Gondosuli
terletak di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu. Situs ini memiliki luas keseluruhan
sekitar 4.992 m2. Pada tahun 832, sesuai dengan candrasengkala yang ada,
Prasasti Gondosuli menjadi saksi bisu kejayaan Dinasti Sanjaya, terutama di
masa pemerintahan Rakai Patahan sebagai raja di Mataram Kuno. Nama Rakai
Patapan juga dapat dijumpai dalam Prasasti Karang Tengah yaitu ditulis pada
tahun 824. Berdasarkan penelitian Prasasti Gondosuli memuat 11 baris tulisan.
Tulisan tersebut menggunakan huruf Jawa Kuno, tapi menggunakan bahasa Melayu
Kuno. Prasasti Gondosuli ditulis/dipahat pada batu besar dengan panjang 290 cm,
lebar 110 cm dan tinggi 100 cm, sedangkan bidang yang ditulis berukuran 103 x
54 cm2. Selain ditemukan prasasti ada pula reruntuhan bebatuan candi yang
berserakan disekitarnya. Batu yang berserakan itu diperkirakan hanya bagian
atas candi, sedangkan sebagian besar bangunan candi terpendam dalam tanah.
Tidak seperti candi-candi yang lain, candi Gondosuli hingga kini masih berada
dibawah timbunan tanah. Candi Gondosuli berukuran sangat besar sehingga kalau
digali dapat menenggelamkan seluruh kawasan desa. Prasasti Gandasuli terdiri
dari dua keping, disebut Gandasuli I (Dang pu Hwang Glis) dan Gandasuli II
(Sanghyang Wintang). Itu ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno dengan aksara
Kawi , berangka tahun 792 M. Teks prasasti Gandasuli II terdiri dari lima baris
dan berisi tentang filsafat dan ungkapan kemerdekaan serta kejayaan Syailendra.
2. Situs Liyangan
Situs Liyangan
ditemukan pada tahun 2008 yang berupa candi ukuran kecil dan hingga kini di
kawasan penambangan pasir di lereng Gunung Sindoro itu masih ditemukan
benda-benda bersejarah lain. Situs Liyangan berada di atas permukiman warga Dusun
Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, berjarak sekitar 20 kilometer
arah barat laut dari kota Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Situs ini
mempunyai keunikan yaitu memiliki yoni dengan 3 lingga. Keunikan ini jarang
ditemui di Indonesia. Situs liyangannya sendiri berada di kedalaman 2 meteran
dibawah tanah. Diperkirakan situs tersebut sebuah perdusunan karena di antara
benda temuan terdapat sisa-sisa rumah berbahan kayu dan bambu. Hasil penelitian
tim Balai Arkeologi menyimpulkan, data arkeologi berupa sisa-sisa rumah
berbahan kayu dan bambu merupakan situs perdusunan masa Mataram Kuno sekitar
1.000 tahun lalu. Data tersebut merupakan satu-satunya yang pernah ditemukan di
Indonesia sehingga memiliki arti sangat penting bukan hanya bagi pengembangan
kebudayaan di Indonesia, tetapi juga dalam skala internasional.Untuk itu perlu
dilakukan upaya penyelamatan guna penelitian dunia ilmiah.
3. Candi Pringapus
Candi Pringapus
adalah candi di desa Pringapus, Ngadirejo, Temanggung, 22 km arah barat laut dari
kabupaten Temanggung. Arca-arca berartistik Hindu yang erat kaitannya dengan
Dewa Siwa menandakan bahwa Candi Pringapus bersifat Hindu Siwa. Candi tersebut
dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi menurut prasasti yang ditemukan
di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada tahun1932. Candi ini merupakan
Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata.
Sebagaimana lazimnya candi-candi Hindu yang memanifestasikan Siwa, posisi candi
dan letak arca-arcanya selalu menjadi ciri khas yang memperhatikan penjuru mata
angin. Pintu utama candi menghadap ke timur, dan dikanan-kirinya dijaga Kala
dan Nandi. Kala adalah anak Siwa yang lahir dari persatuan antara Siwa dengan
kekuatan alam yang dahsyat. Kala lahir sebagai raksasa sakti yang dapat
mengalahkan semua dewa. Sedangkan Nandi adalah lembu putih kendaraan Siwa,
sehingga dalam satu perwujudannya Siwa disebut Nandi Cwara. Pada bagian lain
terdapat Durga Mahesasuramardhini Durga merupakan salah satu perwujudan Uma
sebagai dewi cantik dengan berbagai macam senjata anugerah dewa. Sebagai Durga,
Uma menurut legenda berhasil mengalahkan raksasa sakti berwujud kerbau yang
mengganggu para Brahmana. Sebagai saksi kebesaran sejarah masa silam, hal lain
yang menarik dari Candi Pringapus adalah hiasa Kala berdagu seperti Kala tipe
Jawa Timur. Candi Pringapus reliefnya masih utuh.
4. Petilasan Jumprit
Jumprit adalah sebuah
sumber mata air di Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Tempat ini dikaitkan dengan sang nujum dari Majapahit yang disebutkan dalam
serat Chentini. Dari sang Nujum inilah Jumprit mendapatkan namanya. Jumprit
juga merupakan tempat pengambilan air suci untuk upacara Waisak yang diadakan
di Borobudur. Setiap tahun, para pemeluk agama Budha dari berbagai tempat dan negara
datang ke Jumprit untuk mengambil air suci. Tempat ini menjadi ramai tiap
menjelang bulan purnama di bulan Mei. Kawasan ini berada di ketinggian 2.100
meter (dpl) dan berada di lereng Gunung Sindoro tempatnya di Desa Tegalrejo,
Kecamatan Ngadirejo. Jaraknya hanya sekitar 26 km dari barat laut kota
Temanggung. Dahulu keberadaan Umbul Jumprit hanya diketahui oleh kalangan
tertentu saja. Tetapi sejak awal 1980, jumlah pengunjung terus meningkat,
terutama mereka yang ingin berziarah ke makam Ki Jumprit dan mandi kungkum di
Umbul Jumprit. Beberapa tokoh masyarakat meyakini, Ki Jumprit adalah leluhur
dari masyarakat Temanggung yang tersebar di lereng Gunung Sindoro dan Sumbing.
Namun hal ini masih memerlukan kajian mendalam, terutama dari aspek kesejarahan.
Ada beberapa lokasi yang diyakini sebagai petilasan Ki Jumprit begitu juga
letak makamnya yang berada tak jauh dari Umbul Jumprit. Dua lokasi inilah yang
kerap dikunjungi peziarah, terutama komunitas tertentu yang terbiasa melakukan
tirakat. Umbul Jumprit adalah mata air yang disucikan. Air umbul (sendang, mata
air) adalah air keberkahan yang diambil para biksu dengan ritual khusus untuk
digunakan dalam upacara Trisuci Waisak di Candi Borobudur. Umbul yang tak
pernah kering ini juga “mengisi” Sungai Progo. Upacara pengambilan air di mata
air yang diyakini sebagai tempat pertapaan Pangeran Singobarong dari Kerajaan
Majapahit itu dimulai oleh kelompok biksu dari aliran Theravada.
0 komentar:
Posting Komentar